Kisah mbah Maridjan – Gunung Merapi yang terletak di utara Yogyakarta ini mempunyai banyak kisah khususnya saat meletus pada tahun 2010 silam.
Salah satu kisah yang paling sering didengar adalah kisah mbah Maridjan, juru kunci gunung Merapi yang ikut meninggal saat letusan 2010 dulu.
Penjaga Gunung Merapi yang berusia 83 tahun itu termasuk di antara 32 orang yang tewas dalam letusan Merapi pada 26 Oktober 2010.
Tak hanya 32 orang tewas, 291 rumah warga hancur dan satu tanggul di Desa Ngepos jebol akibat gelombang lahar dingin tersebut.
Kali ini Mimin UVI akan ngajak pembaca semua untuk mengenang kisah mbah Maridjan juru kunci gunung Merapi.
Kisah Mbah Maridjan: Keseharian Mbah Marijan
Pada tahun 1927, Mbah Maridjan lahir di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1982, ia ditunjuk sebagai penjaga Gunung Merapi menggantikan ayahnya yang sudah meninggal. Sebelumnya, mbah Maridjan diangkat sebagai wakil pengurus dengan status Pengurus Mantri Juru Kunci.
Ia mengikuti ayahnya berperan sebagai penjaga Merapi. Sultan Hamengku Buwono IX menunjuk Mbah Maridjan sebagai Abdi Dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dengan nama baru Mas Penewu Surakso Hargo.

M Baharudin dari Fakultas Islahudin IAIN Raden Intan menjelaskan dalam makalahnya Manusia Sejati dalam Filsafat Mbah Maridjan dan Abdul Karim Al Jill, bahwa Mbah Maridjan hanya bersemayam di satu tempat sejak lahir sampai meninggal, yaitu Gunung Merapi.
Mbah Maridjan secara emosional terhubung dengan Gunung Merapi, dan secara budaya, dia melakukan penebusan dosa dan percaya bahwa Gunung Merapi dikuasai oleh apa yang dia sebut sebagai Bahureksa.
Sebagai pemelihara Gunung Merapi, ia melihat kejadian alam melalui kaca mata naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni (mengamati).
Mbah Maridjan adalah seorang lelaki biasa yang mencari nafkah dengan bercocok tanam di lereng Merapi.
Beliau adalah sosok yang sederhana, rendah hati, dan membumi, jauh dari kata seorang tokoh. Abdul Karim pernah menemui Mbah Maridjan pada 7 November 2008, ia mendapatkan beberapa petuah langsung.
“Saya menjadi juru kunci Gunung Merapi karena menjalankan tugas orang tua saya sebelumnya, sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta.” Suraksohargo itu nama pemberian Ngarsa Dalem yang diberikan ayah saya pada serat lubang kancingnya,” jelas Mbah Maridjan.
Mbah Maridjan mendapat gaji sebesar Rp3.710 per bulan sebagai juru kunci Gunung Merapi saat itu. Pendapatan bulanannya meningkat menjadi Rp 5.600 setelah naik pangkat menjadi penewu.
“Kalau masyarakat hanya melihat mereka yang berpendapatan besar, maka akan selalu diliputi ketidakpuasan,” ujarnya.
Sebaliknya, hidup akan menyenangkan jika orang mau melihat kebawah, tidak peduli berapa banyak uang yang mereka hasilkan. Saya melihat banyak orang yang memiliki gaji rendah. Jadi, daripada melihat ke atas, lihatlah ke bawah.”
Mbah Maridjan mengkritik keras penambang pasir yang menggunakan mesin. Perlindungan alam, menurutnya, harus dijaga dan tidak dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
“Sing sapa seneng ngerusak ketentremane alam dan lan liyan bakal dibendu deneng pangeran lan dielehake dening tumindake dhewe (Barangsiapa yang gemar merusak ketentraman alam dan hidup orang lain, niscaya akan mendapat murka Allah, dan akan digugat karena ulahnya sendiri),” kata Mbah Maridjan ditulis oleh Abdul Karim.
Meninggal ketika sedang sujud
Berdasarkan beberapa sumber, Mbah Maridjan masih beraktivitas seperti biasa sebelum terjadinya letusan meski Merapi dalam status waspada. Ia masih tinggal di Dusun Kinahrejo, desa tertinggi dan paling dekat dengan puncak Merapi.
Pada tanggal 26 Oktober 2010, sekitar pukul 17.58 WIB terjadi letusan yang disusul dengan sirine panjang, sehingga menimbulkan ketakutan warga.
Pukul 17.20, saat berbincang dengan menantu dan kerabatnya, mereka terdiam mendengar suara gemuruh Merapi yang panjang. Lalu, Mbah Maridjan pamit ke masjid dekat rumahnya.
Dia menolak untuk dievakuasi dan tetap bersama putranya di masjid. Sementara itu, cucu, menantu, dan kerabatnya dievakuasi menggunakan mobil.
Pada Hari Selasa 26 Oktober 2010, pukul 18.10 WIB, terjadi erupsi abu vulkanik dan kerikil. Dua wanita keluar dari mobil dan mengejar Mbah Maridjan.
Sementara itu, dua orang pendaki terlihat sedang mengangkut sepeda motornya menuju kediaman di bawah rumah Mbah Maridjan.
Sementara saat sirine berbunyi, seluruh rombongan baik pihak PLN maupun tim SAR sudah meninggalkan lokasi kejadian. Bunyi sirine sebagai tanda berangkatnya rombongan dan berpisah dengan Mbah Maridjan.
Mbah Maridjan ditemukan tewas dalam keadaan sujud mengenakan kemeja batik dan sarung. Ia dimakamkan bersama korban letusan lainnya di Dusun Sidorejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Titah Sultan Hamengkubuwono IX Untuk Mbah Maridjan
Mbah Maridjan, Abdi Dalem Paling Setia, punya alasan menolak pembangunan tanggul di lereng Merapi. Ia adalah karakter yang sangat percaya pada kosmologi.
Ia percaya bahwa alam sudah mengatur dirinya sedemikian rupa, sehingga alam semesta berada dalam harmoni dan keseimbangan. Selain itu, Gunung Merapi adalah salah satu contoh kekuatan alam paling menakjubkan di Jawa.
Mbah Maridjan merasa Merapi lebih dari sekedar pegunungan, merupakan suatu lingkungan atau komunitas yang saling berhubungan dengan seluruh makhluk yang menghuninya.

Baginya, lingkaran Merapi adalah lingkaran saling peduli dan melindungi. Mbah Maridjan lahir di Kinahrejo pada tahun 1927 dan menghabiskan seluruh hidupnya di sana.
Ia pernah menjabat sebagai penjaga Merapi, mengikuti jejak ayahnya yang dulunya adalah penjaga salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta untuk mendampingi tugas ayahnya pada tahun 1970, saat ayahnya masih hidup.
Sultan Hamengkubuwono (HB) IX pun dengan senang hati menganugerahkan gelar dan nama baru kepadanya, Mas Penewu Surakso Hargo, dengan pangkat Mantri juru kunci, mengacu pada wakil atau asisten ayahnya.
Pada 3 Maret 1982, mbah Maridjan mengambil alih tugas sebagai penjaga Gunung Merapi setelah ayahnya meninggal.
Sejarah Letusan Merapi
Mbah Maridjan selaku penjaga Merapi sangat memahami gunung yang dikeramatkannya itu. Setiap 2 atau 4 tahun, akan terjadi letusan kecil. Letusan yang lebih besar biasanya berlangsung antara 10 dan 15 tahun.
Sementara siklus yang harus diwaspadai belum bisa dipastikan, namun diperkirakan akan memakan waktu lebih lama. Letusan Merapi terbukti mengubah jalan sejarah.
Kerajaan Mataram Kuno (Medang), misalnya, diperkirakan terpaksa berpindah dari Jawa Tengah ke timur akibat letusan gunung berapi pada abad ke-10 (Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, 2005: 84).
Kerajaan Hindu ini membuka jalan bagi Majapahit, Demak, Mataram Islam, dan Kesultanan Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1006 terjadi letusan yang menutupi seluruh permukaan Jawa Tengah dengan abu vulkanik.
Candi Borobudur dan Prambanan pun turut tertimbun akibat letusan ini (Arwan Tuti Artha, Langkah Raja Jawa Menuju Istana: Praktik Spiritual Sultan, 2009: 157).
Merapi sudah aktif sepanjang sejarahnya, dengan letusan pada tahun 1786, 1822, 1872, dan 1930, menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1.400 orang.
Letusan terbesar menurut catatan Geologi modern terjadi pada tahun 1872 dan mencapai skala tinffi. Letusannya berlangsung selama 120 jam, yaitu 15 April sampai 20 April 1872.
Selain itu, letusan tahun 2010 yang menewaskan Mbah Maridjan dilaporkan memiliki tingkat letusan yang hampir sama. Mbah Maridjan harus menghadapi ketegangan yang meningkat di Merapi selama masa jabatannya sebagai juru kunci yang dimulai pada tahun 1982.
Saat letusan November 1994, misalnya, beberapa masyarakat di lereng gunung terkena dampak awan panas, atau wedhus gembel dalam bahasa lokal, dan 60 orang meninggal.
4 tahun kemudian, Juli 1998, letusan kembali terjadi, namun kali ini mengarah ke atas, sehingga tidak ada korban jiwa. Dua orang relawan terbakar uap panas di kawasan Kaliadem pada tahun 2006.
Terakhir, pada tahun 2010 terjadi bencana letusan yang memakan banyak korban jiwa dan menimbulkan kerusakan cukup parah.
Merawat Gunung Merapi Sepuh Hati
Saat ada tanda-tanda Merapi akan kembali meletus, Mbah Maridjan selalu enggan diminta mengungsi. Bahkan, keinginan Sultan Hamengkubuwono X itu ditolaknya sebanyak dua kali.
Penolakan pertama terjadi pada tahun 2006. Sultan Hamengkubuwono X berpesan agar masyarakat Kinahrejo bersiap untuk direlokasi ke lokasi yang aman. Sebaliknya, Mbah Maridjan tak menghiraukan dan mengungsi ke pelataran Srimanganti di lereng selatan Merapi.
Ia selamat pada saat itu, Mbah Maridjan tidak bermaksud menyinggung perasaan Sultan Hamengkubuwono X.

Mbah Maridjan kerap menyatakan, ia hanya mengikuti perintah Sultan HB IX, sedangkan Hamengkubuwono X pada saat itu menjabat sebagai Gubernur, menurutnya himbau-an tersebut sama halnya dengan perintah pejabat lainnya, bukan dari seorang raja.
Mbah Maridjan mengesampingkan perintah Sultan Hamengkubuwono X ketika Merapi aktif pada 2010 lalu. Ia berpegang teguh, bahwa rasa tulus dan kasih sayangnya, akan mendapatkan balasan setimpal. Gunung yang ia jaga dengan segenap hati dan jiwa tidak akan menyebabkan hal-hal buruk padanya.
Fakta bahwa Kinahrejo selalu terhindar dari amarah setiap kali Merapi meletus, menjadi hal yang paling krusial untuk diingat Mbah Maridjan. Meski begitu, Mbah Maridjan tetap menyerahkan hidup dan matinya kepada Yang Maha Kuasa setiap kali dituntut berkorban sebagai juru kunci.
Berkorban dan Selalu Bertanggung Jawab
Mbah Maridjan pernah ditanya alasannya menolak dievakuasi. “Yah, betah tinggal di sini. Nanti kalau ada tamu di sini, mereka kesal kalau aku pergi,” candanya. Namun, sikap Merapi tahun 2010 di luar dugaan, berbeda dengan pola erupsi sebelum-sebelumnya.
Letusan lava dan awan panas yang tidak seaktif biasanya selalu membentuk kubah lava baru di sisi selatan dan berfungsi sebagai pelindung. Merapi kali ini memuntahkan lava dan awan panas ke segala arah, disertai letusan yang terus berlanjut.
Kebisingan tersebut terdengar sampai Yogyakarta dan Wonosobo, yang keduanya berjarak lebih dari 50 km. Hujan abu dirasakan sampai Cilacap, Tasikmalaya, Bandung, dan Bogor. Pada 26 Oktober 2010, Letusan Merapi mencapai puncaknya.
Mbah Maridjan tetap teguh pada pendirian, berdiam diri di rumahnya sampai ditemukan tewas dalam posisi sujud. Juru kunci Merapi ini tampaknya sudah siap menghadapi apa pun yang terjadi. Letusan Merapi tahun 2010 merupakan salah satu letusan yang paling besar.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 341 orang meninggal dunia, 368 orang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 61.154 orang mengungsi. Sedangkan kerugian materil sebesar Rp. 4,23 triliun dengan kerusakan bangunan sebanyak 3.307 unit.
Jika gajah mati meninggalkan gadingnya atau harimau mati meninggalkan belang, Mbah Maridjan meninggal meninggalkan Merapi, puncak gunung berapi yang masih lekat dengan pengabdiannya sampai nanti.
Itulah Kisah Mbah Maridjan sang juru kunci Gunung Merapi, sosok yang namanya masih dikenang sampai saat ini.