Keraton Yogyakarta – Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan keraton resmi kota Jogja. Sejak tahun 1755, para penguasa Keraton Ngayogyakarta memerintah kota tersebut dengan status daerah khusus.
Perjanjian Giyanti mendirikan Kesultanan Ngayogyakarta dengan memisahkan Kesultanan Nagari Ngayogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi dan Kasunanan Surakarta untuk Pakubuwana III.
Maka dari itu, Keraton Jogja didirikan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai raja pertama dan dilanjutkan oleh keturunan calon raja bergelar “Sri Sultan Hamengku Buwono” yang masih memegang kendali sampai tahun 2023.
Keraton Yogyakarta: Living Monument Hasil Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti menandakan bubarnya Mataram Islam. Narasi perpecahan kerajaan di Jawa bermula dari perseteruan keluarga yang dipicu oleh politik VOC.
Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, semuanya terlibat perseteruan saudara kandung.
Pakubuwana II (raja pertama Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi bersaudara, keduanya putra Amangkurat IV (1719-1726), menurut nenek moyangnya.
Sedangkan Raden Mas Said adalah salah satu cucu Amangkurat IV atau lebih tepatnya keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi. Raden Said sendiri mencari pengakuan sebagai pewaris takhta Mataram yang dijabat oleh pamannya, Pakubuwana II.
Alasan utamanya adalah karena ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya mangkunegara, merupakan anak sulung Amangkurat IV. Oleh karena itu, Arya mangkunegara harus menggantikan Amangkurat IV sebagai Raja Mataram.
Namun karena Arya mangkunegara sering menolak kebijakan VOC, ia akhirnya dideportasi ke Sri Lanka dan meninggal dunia. VOC kemudian mencalonkan Pangeran Prabasuyasa, putra Amangkurat IV lainnya, sebagai calon penguasa Mataram, dengan gelar Paku Buwana II.
Pada tanggal 17 Februari 1745, Pakubuwana II mengambil alih kekuasaan Mataram Islam dan memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta.
Pemindahan ini terjadi ketika Keraton Kartasura dibongkar pada tahun 1742, akibat pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Garendi atau Sunan Kuning yang mengakibatkan Keraton Mataram Islam berada di Kartasura.
Hal ini menyulut keinginan Raden Mas Said untuk merebut tahta Mataram Islam dari pamannya, Pakubuwana II. Raden Mas Said akhirnya bekerja sama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut mahkota Mataram Islam dari Pakubuwana II, dengan bantuan VOC.
Pada tanggal 20 Desember 1749, Pakubuwono II meninggal dunia. Pangeran Mangkubumi memanfaatkan kekosongan pemerintahan dengan mengangkat dirinya sebagai raja Mataram Islam yang baru.
Mengetahui hal tersebut, VOC menolak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa Mataram Islam, karena Pakubuwana II memberinya wewenang untuk mencalonkan raja sebelum kematiannya.
VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi, naik takhta Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi melancarkan serangan baru terhadap VOC dan Pakubuwana III.
Untuk menangkis serangan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC merancang strategi yang mengadu domba kedua tokoh tersebut. VOC mengirimkan utusan khusus untuk memperingatkan Raden Mas Said tentang Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya.
Kebijakan VOC yang saling berperang membuahkan hasil pada tahun 1752, ketika terjadi pertengkaran antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
VOC kemudian memanfaatkan hal ini untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan memberikan sebagian wilayah Provinsi Mataram milik Pakubuwana III.
VOC mengadakan perundingan pada tanggal 22 dan 23 September 1754, mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah Mataram, hak milik yang akan digunakan, dan kerja sama VOC dengan kesultanan.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755, mengakhiri perbincangan dan membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta.
Setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi mengakuisisi separuh provinsi Mataram Islam, sehingga terbentuklah monarki baru yang dikenal sebagai Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Setelah itu, Pangeran Mangkubumi mendeklarasikan dirinya sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Dengan demikian, berakhirlah sejarah Kerajaan Mataram Islam, baik secara De Facto maupun De Jure.
Monumen Perjanjian Giyanti dibuat di Karanganyar, Jawa Tengah, sebagai wujud fisik dari Perjanjian Giyanti. Lokasi ini berbentuk seperti prasasti batu dan terdapat pohon beringin.
Sumbu Filosofis Jogja: Warisan Dunia UNESCO
Sultan Hamengku Buwana I merencanakan pembangunan Yogyakarta pada landasan filosofis yang tinggi. Sultan Hamengku Buwana I membangun kota Yogyakarta dari utara ke selatan, dengan Keraton Yogyakarta sebagai titik fokusnya.
Sultan membangun the Monumen Golong-gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton dan Panggung Krapyak di sisi selatan keraton. Garis lurus yang ditarik dari ketiga situs tersebut akan membentuk suatu sumbu imajiner yang disebut dengan Poros Filsafat Yogyakarta.
Secara filosofis, sumbu imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas), serta manusia dengan alam.
Termasuk lima unsur penyusunnya yaitu api (dahana) dari Gunung. Merapi, bumi (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan akasa (ether).
Demikian pula poros imajiner filosofis mencakup tiga unsur yang membentuk kehidupan (fisik, energi, dan jiwa).
Sri Sultan Hamengkubuwono, dikenal sebagai Sayidin Panatagama Kalifatullah, kemudian mengubah gagasan Hindu tentang filsafat poros imajiner ini menjadi konsep filsafat Islam Jawa “Hamêmayu Hayuning Bawana” dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”.
Poros Filsafat Keraton Yogyakarta terletak pada garis lurus antara Tugu Golong-Gilig, Kraton, dan Panggung Krapyak. Monumen Golong-Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol kesuburan Lingga dan Yoni.
Karena Tugu Golong-Gilig berbentuk lingkaran di bagian atas (golong) dan berbentuk silinder di bagian bawah (gilig), maka dikenal dengan nama Pal Putih.
Monumen Golong Gilig melambangkan kehadiran Sultan dalam aktivitas hidupnya. Hal ini ditunjukkan dengan sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, didukung oleh komitmen untuk mensejahterakan umat (golong-gilig), dan dilandasi oleh hati yang suci (putih).
Alhasil, sudut pandang utama Sultan saat bertapa di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara adalah Monumen Golong-Gilig. Hubungan intelektual Hindu antara Tugu, Kraton, dan Panggung Krapyak ditransformasikan ke dalam konsep filsafat Islam Jawa “Sangkan Paraning Dumadi” karya Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Di sebelah utara, falsafah Panggung Krapyak menceritakan perjalanan manusia mulai dari pembuahan dalam kandungan ibu sampai perkawinan dan persalinan (sangkaning dumadi).
Alun-Alun Selatan melambangkan laki-laki dewasa yang wani (berani) melamar seorang gadis setelah ia mencapai pubertas. Namun ke arah selatan terdapat jalur manusia menuju Sang Khalik (paraning dumadi) dari Monumen Golong-Gilig/Tugu Pal Putih.
Golong gilig melambangkan kesatuan cipta, rasa, dan karsa berdasarkan kesucian hati (putih) dari Margatama (jalan menuju keunggulan) ke arah selatan melalui Malioboro (menggunakan obor/panduan ilmu yang diajarkan para wali), kemudian melalui Pangurakan ( mengusir keinginan negatif).
Berdirinya Komplek Kepatihan dan Pasar Beringharjo melambangkan godaan duniawi dan godaan nafsu manusia yang harus dihindari. Pohon asêm (Tamarindus indica) yang artinya sengsêm/menarik, dan pohon stylem (Inocarpus edulis) yang artinya tenang/teduh, ditanam di sepanjang jalan Margatama, Malioboro, dan Margamulya.
Nah itu dia informasi lengkap mengenai sejarah Keraton Yogyakarta, Perjanjian Giyanti, dan Sumbu Filosofis Jogja, semoga bermanfaat!